Selasa, 07 Agustus 2012

RULE BASED MACHINE TRASLATOR DALAM PENERJEMAHAN


RULE BASED MACHINE TRASLATOR DALAM PENERJEMAHAN
(Kajian Awal Teoretis dan Metodologis)


PENDAHULUAN

Mesin terjemahan adalah perpaduan antara ilmu bahasa dengan ilmu komputasi, sering disebut sebagai bagian dari ilmu computational linguistic. Intinya ilmu ini mencoba membuat mesin mampu menerjemahkan satu bahasa ke bahasa yang lainnya. Selain itu membuktikan bahwa penerjemahan saat ini tidak lagi semata-mata terjemahan oleh manusia,  tetapi dalam konteks profesional, merupakan peningkatan proses dan produk yang memadukan kekuatan komputer dan analisis bahasa berbasis komputer dengan kemampuan manusia untuk menganalisis makna dan menentukan bentuk yang tepat ke dalam bahasa lainnya.
Penerjemah otomatis seperti transtool merupakan program komputer. Dia tidak "memahami" kata-kata selain yang ada dalam database-nya meskipun database itu selalu di-update hampir setiap detik. Karena itu mestinya kita tidak memaksa transtool menerjemahkan dan menggunakannya secara serta merta

Penerjemahan  adalah usaha memproduksi dari bahasa sumber ke dalam bahasa  penerima (receptor) dengan  mendahulukan  makna pesan untuk mencari  perpadanan pesan  yang terdekat dan terwajar (translating consist in reproducing  in the receptor language  the closest natural equivalent  of the source-language message, first in terms  of meaning  and secondly in terms of style (Nida and Taber, 1982)

Berdasarkan Dictionary of Translation Studies (Shuttleworth dan Cowic, 1997:181) :
”Terjemahan adalah gagasan luas yang dapat dipahami melalui berbagai cara berbeda. Sebagai contoh, orang akan berbicara mengenai penerjemahan sebagai proses dan produk, dan mengenali setiap subjenisnya sebagai literary translation, technical translation, subtitling and machine translation; lebih jauh lagi walaupun istilah terjemahan secara khusus merujuk pada transfer teks tertulis, istilah ini terkadang mencakup juga interpreting”.

Definisi ini memperkenalkan variabel-variabel lebih lanjut, (1) subtipe, yang secara khusus tidak hanya mencakup  hasil tulisan seperti terjemahan literal dan terjemahan teknis, tetapi juga bentuk-bentuk terjemahan yang telah diciptakan pada dekade terakhir ini, seperti audiovisual translation—produk tertulis yang dibaca bersama dengan gambar pada layar (bioskop, televisi, DVD atau game komputer). Terlebih lagi, merujuk pada adanya machine translation membuktikan bahwa penerjemahan saat ini tidak lagi semata-mata terjemahan oleh manusia,  tetapi dalam konteks profesional, merupakan peningkatan proses dan produk yang memadukan kekuatan komputer dan analisis bahasa berbasis komputer dengan kemampuan manusia untuk menganalisis makna dan menentukan bentuk yang tepat ke dalam bahasa lainnya.
Dalam dunia penerjemahan dikenal Google Translate dan Rekso Translator. Kedua aplikasi tersebut merupakan contoh dari aplikasi Machine Translation (MT).
MT adalah perpaduan antara ilmu bahasa dengan ilmu komputasi, sering disebut sebagai bagian dari ilmu computational linguistic. Intinya ilmu ini mencoba membuat mesin mampu menerjemahkan satu bahasa ke bahasa yang lainnya.
Sekarang ini ada beberapa jenis MT, yang umum ditemui adalah Statistical Machine Translator (SMT), Rule Based Machine Traslator, dan Hybrid Machine Translator. SMT menggunakan hitung-hitungan statistik untuk menerjemahkan suatu kalimat bahasa tertentu ke bahasa yang lain. Salah statu contoh SMT yang terkenal adalah Google Translate dan Microsoft Translator. Karena menggunakan hitungan statistik, maka SMT memerlukan contoh-contoh terjemahan yang sudah ada (biasa disebut bilingual corpora). Contoh terjemahan kemudian dihitung peluang suatu kata atau frasa diterjemahkan ke bahasa yang lain. Hasil perhitungan ini menghasilkan suatu model translasi. Diperlukan juga contoh-contoh kalimat dalam kedua bahasa (biasa disebutmonolingual corpora). Contoh-contoh kalimat ini digunakan sebagai model bahasa. Model bahasa ini digunakan agar translasi yang dihasilkan tata bahasanya lebih baik. Semakin banyak data contoh terjemahan dan data contoh kalimat, semakin baiklah hasil terjemahan yang dihasilkan.
Rule Based Machine Traslator (RBMT) menggunakan aturan-aturan bahasa baku dalam menerjemahkan. Selain aturan-aturan, diperlukan juga data kamus untuk tiap kata dalam dua bahasa. Jadi tiap kata diterjemahkan satu persatu, kemudian diatur lagi berdasarkan aturan bahasa baku. Contoh aplikasi rule based ini yaitu rekso translator. Namun karena aturan bahasa tidak selalu baku, dan data kamus terbatas, maka penerjemahan terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Pada umumnya rule based MT kualitasnya masih kalah dibanding SMT.
Hybrid MTadalah perpaduan antara statistical dan rule based MT. Ada beberapa teknik hybrid MT, antara lain: keluaran rule based MT, kemudian hasilnya diatur lagi berdasar statistical; atau hasil penerjemahan dari SMT kemudian diatur ulang tata bahasanya berdasar aturan yang baku. Hasil terjemahannya dari SMT yang kemudian diatur ulang tata bahasanya, umumnya kualitasnya lebih baik dibanding metode penerjemahan lainnya.



KAJIAN TEORETIS
Konsep Penerjemahan
Catford (1965:20) mendefinisikan penerjemahan sebagai “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL)”.  Ini dapat diterjemahkan dengan “pengalihan materi tekstual dalam suatu bahasa (bahasa sumber) dengan materi tekstual yang sepadan dalam bahasa yang lain (bahasa sasaran)”. Yang dimaksud dengan materi tekstual dapat berupa buku, bagian buku, paragraf, kalimat, frasa, ataupun kata. Materi tekstual dalam bahasa sumber (source language) diharapkan diganti dengan materi tekstual dalam bahasa sasaran (target language) yang ekuivalen (sepadan), sedangkan Nida dan Taber mendefinisikan penerjemahan sebagai berikut:
 “Translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning, and secondly in terms of style”
(Penerjemahan adalah mereproduksi dalam bahasa penerima padanan (ekuivalensi) alami yang semirip mungkin dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam segi makna, dan kedua dalam gaya bahasanya).
Hingga saat ini, penerjemahan antara bahasa tulis tetap merupakan inti dari penelitian terjemahan, tetapi fokusnya telah meluas dari sekadar penggantian  unit linguistik SL dengan ekuivalen TL.  Penelitian penerjemahan audiovisual pun saat ini mencakup bahasa isyarat (sign language), intralingual subtitles, lip synchronization untuk sulih suara maupun interlingual subtitles. Hubungan antara gambar dan kata sangatlah penting baik dalam film maupun iklan, dan oleh karena telah ada penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara penerjemahan, musik, dan tarian. Adapun batas-batas penerjemahan meliputi sebagai berikut:
1.    Proses transfer sebuah teks tertulis dari SL ke TL, yang dilakukan oleh seorang penerjemah, atau para penerjemah, dalam sebuah konteks sosio-kultural yang spesifik.
2.    Produk tertulis, atau TT, yang merupakan hasil dari proses tersebut dan berfungsi dalam konteks sosio-kultural TL.
3.    Fenomena kognitif, linguistik, visual, kultural, dan ideologi yang merupakan bagian integral dari poin 1 dan 2.




Prosedur Penerjemahan

            Untuk mengatasi kesulitan dalam penerjemahan, yakni tidak memahami makna kata atau kalimat, atau paragraf dan  terjemahan bahasa menurut Newmark  penerjemah harus menempuh tiga  prosedur atau  langkah sebagai berikut.
(1)          Analisis
Sumber asli harus dibaca secara keseluruhan dan dipahami isi pesannya secara garis besar.  Bagian-bagian yang penting dan berpersoalan ditandai. Langkah ini mencakup struktur, semantik, gaya bahasa, dan pesan. Dalam langkah ini sering ditemukan problem pemahaman yang pemecahannya harus dicari di luar teks, di berbagai sumber, seperti teks peraturan perundangan lain, ensikloedi, kamus, atau narasumber. 
(2)          Transfer
Penerjemah mulai menerjemahkan di dalam pikiran, dan jika perlu mulai dituliskan sambil tetap mencari pemecahan problem dengan melihat keluar dari teks. Di sini penerjemah melakukan deverbalisasi, yakni melepaskan diri dari ikatan kalimat-kalimat teks sumber  untuk melakukan close translation,  yakni mencari satuan penerjemahan terkecil yang dapat dicermati untuk dikerjakan.
(3)          Restrukturisasi
Penerjemah mulai melakukan penerjemahan yang sebenarnya dan mulai mengatur susunan-susunan kalimat secara teliti. Di sini penerjemah mengubah struktur gramatikal dan seman bahasa sumber menjadi bahasa sasaran sambil memeriksa apakah terjemahan tersebut apakah sudah sesuai dengan desain sasaran dan analisis kepentingan.
Untuk mendukung prosedur tiga langkah tersebut, Hoed (2006:11-12) menambahkan “empat tataran penerjemahan” yang oleh Newmark disebut ancangan (approach) karena memandu penerjemah dalam proses penerjemahan. Empat tataran penerjemahan yang dimaksudkan tersebut adalah: (a) tataran teks, yakni ketika penerjemah mencoba memahami teks yang harus diterjemahkannya, terutama pada tataran kata dan kalimat, (b) tataran referensial. Di sini penerjemah keluar dari teks untuk mengetahui apa yang sebetulnya dirujuk oleh suatu kata, istilah, atau ungkapan dalam teks yang bersangkutan, (3) tataran kohesi, yakni memeriksa apakah sebagai sebuah teks terjemahan tersebut sudah padu, dan (d) tataran kewajaran, yakni memeriksa apakah terjemahan tersebut jelas dan berterima bagi calon pembacanya.
Keempat tataran dalam proses penerjemahan itu menurut Hoed harus diperhatikan dengan cermat. Namun, Hoed juga mengingatkan kepada penerjemah tentang tenggat untuk penerjemahan tersebut. Hal ini berarti penerjemah harus membuat rencana kerja yang jelas agar dapat menyerahkan terjemahan tersebut kepada klien tepat waktunya.
Menurut Nida dan Taber, dalam mereproduksi pesan tersebut, aspek makna menjadi prioritas pertama tanpa mengabaikan pentingnya bentuk atau gaya bahasa. Di sini ditekankan bahwa padanan itu hendaknya alami dan sedekat mungkin. Ini secara tersirat dikemukakan bahwa kesamaan yang persis antara unsur-unsur dua bahasa cukup sulit didapatkan. Yang dicari penerjemah adalah padanan alami yang sedekat atau semirip mungkin.

METODOLOGI UNTUK MESIN PENERJEMAHAN

Pendekatan khusus dalam MP berasal dari kontribusi Carbonell dan Tomita. Makalah ini, berjudul "Knowledge-based machine translation, the CMU approach" atau "Terjemahan mesin berbasis pengetahuan, pendekatan CMU",. Makalah ini terdiri dari bagian yang intinya adalah gambaran dari pendekatan yang ada untuk MP (interaktif, pra-editing dan pasca-editing). Makalah tersebut agak terlalu panjang mengingat kajiannya yang terlalu luas hingga mempersoalkan materi dasar penerjemahan, meskipun gambar-gambar yang menyertainya mungkin berguna di transfer ke slide proyektor overhead untuk digunakan dalam pengantar kuliah bahwa yang banyak menghabiskan waktu. Namun demikian, di tengah-tengah makalah ini terdapat bagian "pendekatan berbasis pengetahuan" (Knowledge-Based Machine Translation (KBMT)  yang mengundang sejumlah komentar.
Dalam pendekatan ini terjemahan dicapai melalui "represenatsi makna yang bebas bahasa" atau "language-free meaning representation". Amat disayangkan bahwa penulis tidak memberikan solusi atas beberapa kelemahan dari pendekatan "interlingual" untuk mengimbangi beberapa kemungkinan kontroversial terhadap pernyataan yang dibuat tentang pendekatan "transfer". Sebagai contoh, mengutip dua makalah dari Coling (Computational Linguistics).
Tatabahasa transfer adalah seperangkat aturan tambahan yang besar, tidak mempunyai aturan yang tetap (amorfus) yang merujuk kepada entri-entri leksikal yang spesifik yang memetakan frasa-frasa dalam sebuah bahasa ke dalam frasa-frasa yang sesuai dengan bahasa lain. Dengan demikian, sebuah tata bahasa pengalihan (transfer grammar) yang lengkap perlu dibuat untuk setiap pasangan bahasa.  Terdapat lebih dari 5.000 tatabahasa yang kompleks (gargantuan grammars) untuk menerjemahkan di antara 72 bahasa paling aktif di dunia.
Yang pasti tatabahasa transfer "mungkin" menjadi besar, amorfus
dan ad. hoc. Namun, akankah harus selalu begitu? Bahwa tatabahasa harus merujuk ke "entri leksikal tertentu" tidak bisa dibenturkan begitu saja (bandingkan dengan LFG, yang akhirnya diikuti). Dan salah satunya terdapat pada figur 72 yang menunjukkan darimana "bahasa-bahasa yang paling aktif" berasal. Penulis juga dapat menjadi sedikit naif (atau kontroversial) dalam mengklaim generation (kalimat turunan) menjadi "sederhana, kurang menuntut proses komputasi", serta mengklaim bahwa pendekatan interlingual:
Kembali ke bagian yang sedikit kurang kontroversial, dari sebagian makalah tersebut berlanjut dengan diskusi sistem interaktif. Para penulis berpendapat bahwa sistem-sistem MP interaktif, asal-usul dan frekuensi interaksi harus dikendalikan secara hati-hati, serta mekanisme interaksi sekurang-kurangnya harus sedikit "cerdas" 
Usulan untuk sistem interaktif yang harus memotong teks sumber melalui sistem "komposisi teks otomatis" untuk jenis teks yang sangat stereotip. Untuk hal ini pengetahuan pengkaji, pada kenyataannya tipe yang berasal dari pola hasil terjemahan memang digunakan dalam instansi penerjemahan dimana terdapat kebutuhan untuk sering menerjemahkan teks-teks yang sama (misalnya, sertifikat kelahiran, surat izin mengemudi).
Bentuk terjemahan disimpan dalam sebuah cakram, dan rinciannya dimasukkan ke dalam bagian di mana penerjemah mengatur ulang. "Terjemahan-terjemahan" tersebut selanjutnya dapat diselesaikan oleh staf administrasi. Meskipun adanya ketertarikan komersial, pendekatan ini mungkin tidak mewakili isu teoretis atau metodologis yang penting. Bagian kedua dari makalah ini memusatkan kajiannya pada KBMT: sebuah sistem yang didesain di Carnegie Mellon. Model formalisme tatabahasa berbasis entitas digunakan untuk mengekspresikan informasi yang secara sintaksis dan semantik lebih spesifik. Sedangkan informasi yang berbasiskan  sintaksis dan semantik diungkapkan dalam formalisme tatabahasa fungsional. Kunggulan utamanya adalah reversibilitas (yaitu, tatabahasa yang sama dapat digunakan untuk parsing dan generasi) dan keakrabannya dengan para ahli bahasa komputasi. Masalah yang berhubungan dengan formalisme, menurut penulis yaitu penerapannya yang tidak efisien. Mereka berharap dapat mengantisipasi hal ini dengan tata bahasa prakompilasi dan efisien dengan on-line parsing, dengan  menggunakan algoritma  Tomita yang sangat cepat.
Deskripsi yang diuraikan oleh Nirenburg, Raskin, dan Tucker tentang sistem TRANSLATOR interlingual mereka. Apa pun pandangan seseorang tentang berterimanya MP berbasis interlingual, kita harus mengakui setidak-tidaknya bab ini berupaya untuk menjawab kekakuan dalam mendefinisikan sebuah interlingual (IL). Dalam bagian kesimpulan makalah mereka, jawaban-jawaban yang ditekankan sering diuraikan untuk beberapa pertanyaan yang sering diulang.
Sistem TRANSLATOR terdiri dari tiga modul: analisis bahasa sumber ke dalam interlingual,  "perluasan IL", dan sintesis bahasa target. Perluasan kalimat tersebut terdiri dari perluasan IL yang pada dasarnya berbasis teks dengan mempertimbangkan kesimpulan yang kemungkinan berbentuk anafora, dan struktur wacana dengan menggunakan pengetahuan yang ditemukan dalam kamus dan tatabahasa IL. Bagian utama dari makalah ini berkaitan dengan penjelasan dan definisi kamus dan tatabahasa IL. "Kamus IL" berisi deskripsi ragam entitas yang digunakan. Ada dua macam deskripsi tersebut: deskripsi konsep dan properti. Di antara kedua jenis properti tersebut berhubungan langsung dengan entri yang terdapat pada kamus IL lainnya, yang memberikan aturan yang jelas pada kamus tersebut. Yang paling penting dari keterhubungan ini dilakukan melalui properti "isa", yang berhubungan dengan mekanisme turunan dan kemungkinan-kemungkinan generalisasi dalam inferensi. Sebagaimana yang diakui oleh para penulis secara bebas, hal tersebut menjadi hal yang biasa bagi mereka. Beberapa halaman berikut memberikan beberapa contoh entri kamus.
Tatabahasa IL diartikan sebagai sintakis "teks" IL. Sebuah teks IL merupakan jaringan frame-frame, yang saling dihubungkan dengan penanda wacana. Slot frame-frame tersebut boleh jadi terdiri dari frame-frame termasuk komunikasi tindak tutur perorangan dan informasi yang terarah. Beberapa contoh yang diberikan, di antara mereka beberapa teks input alternatif menarik yang merepresentasikan proposisi yang sama tetapi dengan fokus berbeda.
Hubungan antara teks-teks sumber dan representasi-representasi IL. Di sini terdapat beberapa pernyataan yang agak mengkhawatirkan yang tampaknya untuk menyiratkan korespondensi yang erat antara kategori sintaksis bahasa sumber dan elemen IL, misalnya, kata benda yang sesuai dengan kerangka (frame) objek, kata kerja untuk tindakan atau frame pernyataan (state frame), dan sebagainya (hal. 104). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor utama yang mendukung sebuah pendekatan interlingual justru memungkinkan sampai sejauh manakah perbedaan kategori sintaksis dapat dinetralisir seperti pada kata: nomina kemenangan (victory) tidak lebih merupakan obyek daripada verba menang.
Sangat disayangkan terminologi yang diadopsi oleh EUROTRA hanya dapat melayani untuk membingungkan pembaca:  baik "terjemahan" dan "bahasa" yang diberikan makna khusus. Meskipun demikian kadang-kadang hal tersebut juga muncul dalam penggunaan bahasa sehari-hari mereka pada suatu kesempatan dalam ruang dari dua baris. Beberapa kritik lainnya harus dibuat: pada sudut pandang tertentu, beberapa terminologi diperkenalkan tanpa penjelasan atau pembenaran ("aturan-aturan jenis A"), dan salah satu contoh yang penting mungkin terdapat salah cetak (atom yang hilang/missing atom, untuk "dewan kota". Juga, pembahasan pertanyaan penting seperti penanganan ambiguitas dalam kerangka kerja ini dibatasi sampai pada contoh yang paling sederhana. Namun,  di sisi positifnya, membaca dengan cermat artikel ini akan memberikan beberapa wawasan, setidak-tidaknya dasar metodologi teoretis proyek tersebut (yang, kemudian disebut sebagai tema keseluruhan makalah ini). Para pembaca yang menemukan pendekatan linguistik dicontohkan agak naif harus dipahami bahwa ini semua tunduk pada penelitian yang sedang berlangsung yang penulis klaim, difasilitasi oleh "lingkungan yang sangat tertib" dan "tingkat modularitas tinggi" yang diberikan oleh pendekatan ini.
Pada bagian berikutnya membahas tentang desain dasar sistem interaktif MP. Kontribusi dari Johnson dan Whitelock berpusat pada sekitar gagasan bahwa saat ini sistem MP tidak mendistribusikan tugas terjemahan antara manusia dan komputer dengan cara yang tepat. Mereka mengusulkan sebuah sistem penerjemahan yang ahli dimana keahlian user dan sistem yang melengkapi keterampilan bukan tumpang tindih satu sama lain. Secara khusus, sistem harus lebih seperti penerjemah manusia. Jika tidak diharapkan, untuk mengimbangi kesenjangan dalam pengetahuan tentang bahasa sumber dan subyek (dunia nyata) dengan konsultasi ahli lainnya, tapi tidak dalam bahasa targetnya serta pengetahuan kontrastif.
Kontribusi mereka diajukan dengan "makalah yang dianggap baik", namun pembaca mungkin kecewa karena tidak menemukan rincian yang lebih nyata dari percobaan penerjemahan bahasa Inggris ke dalam bahasa Jepang, dibandingkan dengan artikel sebelumnya yang berdasarkan pada prinsip-prinsip tersebut.
 Kontribusi Alan Melby mirip dengan tema sebelumnya. Dia menguraikan "workstation penerjemah", dimana terdapat tingkatan-tingkatan berbeda antara keterlibatan manusia atau mesin. Melby mendefinisikan empat jenis interaksi manusia dalam proses MP: sebelum dan pasca-editing, bagian ini mungkin diperbantukan oleh komputer untuk mengatur ejaan dan tata bahasa yang sekarang cukup banyak tersedia. Untuk ini ia menambahkan "intraprocessing", yang merupakan interaksi yang akrab selama proses penerjemahan misalnya untuk pilihan item, sasaran leksikal dan "para-pengolahan", dimaksudkan untuk tugas-tugas seperti produksi teks berorientasi glosarium, konkordansi, dan item lainnya yang terkadang berguna terutama untuk penerjemahan skala besar. Para-pengolahan juga mencakup tempat serangkaian kata yang diperlukan.
            Desain workstation penerjemahan Melby yang memiliki tiga
tingkat. Yang pertama adalah tingkat paraprocessing, dengan pengolah kata, kamus pencarian on-demand dengan fasilitas telekomunikasi untuk konsultasi dengan klien, kolega, dan lain-lain. Tingkat kedua melibatkan kamus pencarian otomatis, ditambah analisis morfologinya. Tingkat ketiga adalah MP "penuh", dengan kemungkinan pra- dan pasca-editing serta intra-pengolahan. Semua dikemas bersama-sama secara fleksibel dan efisien. Melby menyimpulkan dengan mengingatkan pembaca bahwa ada berbagai jenis MP untuk user dengan kebutuhan berbeda, mulai dari "terjemahan indikatif", yang outputnya berasal dari dari sistem otomatis yang mungkin sepenuhnya cocok, sampai ke terjemahan hukum dan sastra, dan barangkali mungkin cocok hanya terdapat pada tingkat operasi yang pertama.

ANALISIS TEMUAN

Uji Coba Penggunaan

Mesin transtool yang digunakan sebagai uji coba dalam pengunaan penerjemahan dalam penelitian pustaka ini adalah Rekso Transtool. Mesin ini dapat berjalan atau digunakan dengan bantuan komputer dan yang sejenisnya.
Mesin ini berguna sebagai penerjemahan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Juga bisa berlaku sebaliknya.
Mesin translator dilengkapi dengan  kamus terjemahan. Isi kamus ini dapat dilengkapi atau diperkaya lagi oleh penggunanya.
Berikut adalah tampilan dari mesin Rekso Translator.












Gambar 1
Tampilan Jendela Mesin Rekso Translator











Gambar 2
Tampilan Isi Mesin Rekso Translator

Dalam mesin rekso translator terdapat beberapa menu yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Adapun menu yang dimasud adalah:
1)     Pilihan media input merupakan menu untuk memasukkan bahasa sumber. Bahan dari bahasa sumber dapat ditik langsung, ataupun dapat menyalin dari file yang sudah disiapkan.
2)     Berupa tampilan dari bahasa sasaran atau bahasa target. Hasil terjemahaan bisa sebagai tampilan saja, ataupun bisa langsung disimpan menjadi sebuah file. Di menu ini juga hasilnya dapat sebagai bahasa sasaran saja ataupun bisa disimpan dengan bahasa sumbernya.
3)     Bidang keilmuan pengguna. Di menu ini pengguna dapat menyorot sesuai bidang keilmuan yang dikehendaki. Bidang umum, pendidikan, kesehatan, hukum dan bidang lainnya dapat ditentukan sebagai bahasa sasarannya.
4)     Arah terjemahan. Terdapat dua pilihan yaitu dari bahasa Inggris ke Indonesia atau sebaliknya. Yang mana pilihan pengguna tinggal menyorot pada icon yang tersedia.
Selain keempat menu di atas di dalam rekso translator juga terdapat menu tambahan yaitu menu bantuan, daftar kata, serta menu koreksi kamus.
Berikut penulis sajikan hasil terjemahan dalam bentuk paragraf sebagai bahan ulasan selanjutnya.

Bahasa Sumber
(Bahasa Inggris)
:
The problems in this paper are the criteria, and steps to arrange teaching material by using local folklore. The aims of this paper are to describe, and how to arrange language and Indonesian literature teaching materials source from the south Banten folklore for elementary school students in Pandeglang district. The method of this research is descriptive-analysis. Questionnaire technique is used to capture the teachers' opinion about the criteria and steps to make folklore as teaching materials.

Bahan tersebut dimasukkan ke dalam mesin penerjemahan seperti tertera pada gambar berikut ini.




            

Gambar 3
Tampilan Bahasa Sumber di MP

Hasil terjemahan dalam bahasa sasaran bahasa Indonesia adalah:







Gambar 4
Tampilan Bahasa Sumber dan bahasa Sasaran

Bahasa Sasaran
(Bahasa Indonesia)
:
The permasalahan di  catatan/kertas ini adalah ukuran-ukuran, dan langkah-langkah untuk menyusun material pengajaran oleh menggunakan dongeng-dongeng lokal. The tujuan-tujuan dari catatan/kertas ini adalah untuk menguraikan, dan bagaimana cara menyusun bahasa dan sumber bahan-bahan pengajaran literatur Indonesia dari selatan Banten dongeng-dongeng untuk para siswa sekolah dasar di dalam Pandeglang daerah. Metoda dari riset ini adalah deskriptif. analisa. Teknik daftar pertanyaan digunakan untuk tangkapan pendapat guru sekitar langkah-langkah dan ukuran-ukuran untuk membuat dongeng-dongeng sebagai mengajar bahan-bahan.

Hasil perbaikan bahasa sasaran adalah sebagai berikut ini.

Bahasa Sasaran
(Bahasa Indonesia)
:
Permasalahan dalam tulisan ini adalah kriteria, dan langkah-langkah menyusun bahan ajar cerita rakyat. Tujuannya untuk mendeskripsikan, cara menyusun bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia yang bersumber dari cerita rakyat Banten Selatan bagi siswa sekolah dasar di Kabupaten Pandeglang. Metode penelitian yang digunakan deskriptif-analitis. Teknik angket digunakan untuk menjaring pendapat guru tentang kriteria dan langkah-langkah menyusun bahan ajar cerita rakyat.


KESIMPULAN

Teknologi menyediakan kemudahan, termasuk dalam menerjemahkan. Karena perkembangan teknologi pula, saat ini ada bermacam software terjemahan, misalnya Transtool.
Transtoll sangat terkenal di kalangan mahasiswa, terutama untuk kuliah bahasa Inggris; sayangnya mahasiswa terkesan asal pakai, diperburuk lagi dengan kurangnya pengetahuan tentang tips dan trik pemanfaatannya secara efektif. Selain itu ada juga yang "memaksanya" untuk memahami buku-buku teks berbahasa Inggris. Mestinya, kita perlu memahami beberapa hal mendasar agar kita sadar konteks dan tidak semena-mena menggunakan teknologi dengan dalih kemajuan dan kemudahan, yang sebenarnya justru bisa membuatnya jadi bahan tertawaan.
Yang paling mendasar adalah bahwa  transtool lahir di era kebuuhan akan terjemahan semakin dirasakan keperluannya. Ibarat kulkas, ia memang didesain utuk rumah yang telah memiliki prasarana listrik dan dimaksudkan untuk menyimpan sayur, daging, dan sebagainya. Apabila dipergunakan untuk menyimpan baju (seperti pernah terjadi di suatu tempat yang makmur tapi belum ada listrik di awal tahun 1990-an), tentu akan menjadi tertawaan dan membuat kita mengelus dada.
Dengan demikian memaksa transtool menerjemahkan paper yang kemudian dikumpulkan tanpa koreksi itu seperti menggunakan kulkas untuk menyimpan celana dalam.
Penerjemah otomatis seperti transtool merupakan program komputer. Dia tidak "memahami" kata-kata selain yang ada dalam database-nya meskipun database itu selalu di-update hampir setiap detik. Karena itu mestinya kita tidak memaksa transtool menerjemahkan dan menggunakannya secara serta merta.
Transtool tidak akan banyak membantu untuk menerjemahkan tulisan kita sendiri ke dalam bahasa asing tetapi akan sangat berguna dalam satu hal: untuk memahami informasi yang ditampilkan di suatu halaman dalam bahasa asing. Transtool akan membantu untuk sekedar mengetahui gambaran umum dari isi paragraf tersebut. Meski tidak seratus persen akurat, sekurang-kurangnya kata-kata kunci dalam halaman itu dapat kita pahami, bahkan meski tulisan itu tidak disertai ilustrasi atau gambar. Tingkat akurasi terjemahan transtool akan lebih tinggi jika kita paham terhadap bahasa sumber dan bahasa sasarannya.
Dengan demikian, kita perlu selalu menempatkan alat, teknologi, dan fasilitas itu pada tempatnya, untuk tujuan apa ia dibuat. Transtool pertama-tama dibuat dan memang sangat berguna untuk memahami informasi secara tidak mendalam. Dalam hal terjemahan untuk sesuatu yang lebih berjangka panjang seperti makalah atau buku, terjemahan mesin tentu akan menguras pikiran kita sendiri.






DAFTAR PUSTAKA

Catford, J.C. 1965. A Linguistic Theory of Translation: An Essay in Applied Linguistics. London: Oxford University Press.
Hatim, Basil dan Ian Mason. 1997. The Translator Communicator. London Routledge.
Hoed,   Benny Hoedoro. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya
Humanika, Eko Setyo. 2002. Mesin Penerjemah Suatu Tinjauan Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Masa University Press
Newmark, Peter. 1994. Approaches to Translation. Oxford:  Pergamon Press.
Newmark, peter. 1988. A Textbook  of Translation. Hertfordshire: Prentice Hall International.
Nida, Eugene Aand Taber, Charles R. The theory and Practice of Translation. Leiden: E. J. Brill
Nirenburg, Sergei. 1987. Machine Translation. Cambridge: University of Cambridge

Pendidikan Karakter



BAB I
PENDAHULUAN

Pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Hal ini sekaligus menjadi upaya untuk mendukung perwujudan cita-cita sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional[1].
Pembangunan karakter dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa[2]. Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025, di mana pendidikan karakter ditempatkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu “mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.”
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJPN, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”[3] Dengan demikian, RPJPN dan UUSPN merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan secara operasional pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter (2010): pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan[4].







BAB II
KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER
A.    Pengertian Pendidikan Karakter
Sebelum mengemukakan arti pendidikan karakter penulis terlebih dahulu akan mengemukakan arti pendidikan dan karakter. Pendidikan adalah upaya berupa bantuan yang diberikan kepada orang yang belum dewasa agar menjadi dewasa secara individual, social, dan moral. Sedangkan karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Scerenko (1977) mendefinisikan karakter sebagai atribut atau cirri-ciri yang membentuk dan membedakan cirri pribadi, cirri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, suatu kelompok atau bangsa.
              Mengacu pada definisi di atas bahwa nilaidasar yang membangun pribadi seeorang, erbentuk baik kerena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, erta pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orangl lain, erta diwujudkna dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari –hari.[5]
              Sedangkan pengertian pendidikan karakter menurut Winston yang dikutip oleh Samani adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh kepada karaker siswa yag diajarnya. Pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untujk mengajarkan nilai-nilai kepada para siswanya (Winston, 2010)[6]. Pendidikan karaker elah menjadi sebuah pergerakan pendidikan yag mendukung pengembangan social, pengembangan emosional, dan pengembangan etik para siswa. Merupakan suatu upaya proaktif yang dilakukan baik oleh sekolah maupun pemerintah untukmemvbantu siswa mengembangkan inti pokok dari nilai –nilai etik dan nilai –nilai kinerja , seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, fairness, keuletan dan ketabahan (fortitude), tanggung jawab, menghargai diri sendiri dan orang lain. Pendidikan karakter menurut Burke seperti yang dikutip Mukhlas[7] semata-mata merupakan bagian dari pembelajaran yang baik dan merupakan bagian yang fundamental dari pendidikan yang baik.
              Menurut Scerenko (1997) pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai upaya yang sungguh-sungguh dengan cara mana ciri kepribadian positif dikembangkan, didorong, dan diberdayakan melalui keteladanan , kajian (sejarah, dan biografi para bijak dan pemikir besar), serta praktik emulasi (usaha yang maksimal untuk mewujudkan hikmah dari apa-apa yang diamati dan dipelajari)[8].
              Jadi pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia setuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, piker, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan menwujudkan kebaikan itu dalam kegidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
              Ada tiga komponen karakter yang baik[9] menurut Masnur Muslich yaitu Moral Knowing, Moral Feeling, dan Moral Action. Moral knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Moral knowing ini terdiri dari enam hal, yaitu: (1) moral awareness (kesadaran moral), (2) knowing moral values (mengetahui nilaipnilai moral), (3) perspective taking, (4) moral reasoning, (5) decision making, dan (6) self knowledge.
              Moral feeling adalah aspek yang lain yang haus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energy dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat enam hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni (1) conscience (nurani), (2) self esteem (percaya diri), (3) empathy (merasakan penderitaan orang lain), (4) loving the good (mencintai kebenaran), (5) self control (mampu mengontrol diri), dan (6) humility (kerendahan hati).
              Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya.
           

B. TUJUAN PENDIDIKAN KARAKTER

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan mengembangkan karakter bangsa agar mampu mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

C. NILAI-NILAI PEMBENTUKAN KARAKTER

Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi (the existing values) yang dimaksud seperti: keagamaan, kebersihan, kedisiplinan, kebersamaan, peduli lingkungan, kerja keras, dan sebagainya.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, dan (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang telah dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis konteks, sehingga dalam implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan lainnya. Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan, seperti: bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan dan santun.
Sehubungan dengan hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada puncak peringatan Hardiknas di Istana Negara (Selasa, 11 Mei 2010) mengutarakan:
”…Saudara-saudara, kalau saya berkunjung ke SD, SMP, Saudara sering mendampingi saya, sebelum saya dipresentasikan sesuatu yang jauh, yang maju, yang membanggakan, Saya lihat kamar mandi dan WC-nya bersih tidak, bau tidak, airnya ada tidak. Ada nggak tumbuhan supaya tidak kerontang di situ. Kebersihan secara umum, ketertiban secara umum. Sebab kalau anak kita TK, SD, SMP selama 10 tahun lebih tiap hari berada dalam lingkungan yang bersih, lingkungan yang tertib, lingkungan yang teratur itu ada values creation. Ada character building dari segi itu. Jadi bisa kita lakukan semuanya itu dengan sebaik-baiknya….”[10]  

D. PROSES PENDIDIKAN KARAKTER

Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural dalam konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat. Totalitas psikologis dan sosiokultural dapat dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan  berikut:

OLAH HATI, OLAH PIKIR, OLAH RASA/KARSA, OLAH RAGA:
beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotikramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerjabersihdan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, gigih, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif

E. RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KARAKTER
Pada hakekatnya perilaku seseorang yang berkarakter merupakan perwujudan fungsi totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan fungsi totalitas sosial-kultural dalam konteks interaksi (dalam keluarga, satuan pendidikan, dan masyrakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam kontek totalitas proses psikologis dan sosial-kultural dapat dikelompokkan dalam:
(1) olah hati (spiritual & emotional development);
(2) olah pikir (intellectual development);
(3) olah raga dan kinestetik (physical & kinesthetic development); dan
(4) olah rasa dan karsa (affective and creativity development).
Proses itu secara holistik dan koheren memiliki saling keterkaitan dan saling melengkapi, serta masing-masingnya secara konseptual merupakan gugus nilai luhur yang di dalamnya terkandung sejumlah nilai sebagaimana dapat di lihat pada penjelasan di atas[11].

F. Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Ada beberapa Strategi dalam Pelaksanaan Pendidikan Karakter.

1. Strategi di Tingkat Kementerian Pendidikan Nasional

Pendekatan yang digunakan Kementerian Pendidikan Nasional dalam pengembangan pendidikan karakter, yaitu: pertama melalui stream top down; kedua melalui stream bottom up; dan ketiga melalui stream revitalisasi program.
Kementerian Pendidikan Nasional secara komprehensif dan massif akan melakukan upaya-upaya pengembangan kapasitas sumber daya pendidikan karakter. Perlu disiapkan satu sistem pelatihan bagi para pemangku kepentingan pendidikan karakter yang akan menjadi aktor terdepan dalam mengembangkan dan mensosialisikan nilai-nilai karakter.

·         Implementasi dan kerjasama
Kementerian Pendidikan Nasional mensinergikan berbagai hal yang terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter di lingkup tugas pokok, fungsi, dan sasaran unit utama.

·         Monitoring dan evaluasi
Secara komprehensif Kementerian Pendidikan Nasional akan melakukan monitoring dan evaluasi terfokus pada tugas, pokok, dan fungsi serta sasaran masing-masing unit kerja baik di Unit Utama maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, serta pemangku kepentingan pendidikan lainnya. Monitoring dan evaluasi sangat berperan dalam mengontrol dan mengendalikan pelaksanaan pendidikan karakter di setiap unit kerja.

2. Strategi di Tingkat Daerah

Ada beberapa langkah yang digunakan pemerintah daerah dalam pengembangan pendidikan karakter, dimana semuanya dilakukan secara koheren.

a. Penyusunan perangkat kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Pendidikan adalah tugas sekolah, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Untuk mendukung terlaksananya pendidikan karakter di tingkat satuan pendidikan sangat dipengaruhi dan tergantung pada kebijakan pimpinan daerah yang memiliki wewenang untuk mensinerjikan semua potensi yang ada didaerah tersebut termasuk melibatkan instansi-instansi lain yang terkait dan dapat menunjang pendidikan karakter ini. Untuk itu diperlukan dukungan yang kuat dalam bentuk payung hukum bagi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan karakter.

b. Penyiapan dan penyebaran bahan pendidikan karakter yang diprioritaskan
Bahan pendidikan karakter yang dibuat dari pusat, sebagian masih bersifat umum dan belum mencirikan kekhasan daerah tertentu. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian dan penambahan baik indikator maupun nilai itu sendiri berdasarkan kekhasan daerah. Selain itu juga perlu disusun strategi dan bentuk-bentuk dukungan untuk menggandakan dan menyebarkan (bukan hanya dikalangan persekolahan tapi juga di lingkungan masyarakat luas).

c. Memberikan dukungan kepada Tim Pengembang Kurikulum (TPK) tingkat provinsi dan kabupaten/kota melalui Dinas Pendidikan

Pembinaan persekolahan untuk pendidikan karakter yang bersumber nilai-nilai yang diprioritaskan sebaiknya dilakukan terencana dan terprogram dalam sebuah program di dinas pendidikan. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan oleh tim professional tingkat daerah seperti TPK Provinsi dan kabupaten/kota.

d. Dukungan Sarana, Prasarana, dan Pembiayaan
Dukungan sarana, prasarana, dan pembiayaan ditunjang bukan hanya oleh dinas pendidikan tapi juga oleh dinas-dinas lain yang terkait seperti dinas pertamanan/pertanian dalam mengadakan tanaman hias atau tanaman produktif.

3. Strategi di Tingkat Satuan Pendidikan
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum oleh setiap satuan pendidikan.
Strategi tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif dengan penilaian berbasis kelas disertai dengan program remidiasi dan pengayaan.

a. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan mengajar yang membantu guru dan peserta didik mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata, sehingga peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka. Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih memiliki hasil yang komprehensif tidak hanya pada tataran kognitif (olah pikir), tetapi pada tataran afektif (olah hati, rasa, dan karsa), serta psikomotor (olah raga).
Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi, yaitu: (a) pembelajaran berbasis masalah, (b) pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d) pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Kelima strategi tersebut dapat memberikan nurturant effect pengembangan karakter peserta didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, rasa ingin tahu.

b. Pengembangan Budaya Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar
Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu:[12]

1).Kegiatan rutin
Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Misalnya kegiatan upacara hari Senin, upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum pelajaran dimulai dan diakhiri, dan mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan teman.

2). Kegiatan spontan
Kegiatan yang dilakukan peserta didik secara spontan pada saat itu juga, misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena musibah atau sumbangan untuk masyarakat ketika terjadi bencana.

3). Keteladanan
Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan dan peserta didik dalam memberikan contoh melalui tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan, perhatian, jujur, dan kerja keras.

4). Pengkondisian
Pengkondisian yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan karakter, misalnya kondisi toilet yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang dipajang di lorong sekolah dan di dalam kelas.




d). Kegiatan ko-kurikuler dan atau kegiatan ekstrakurikuler
Terlaksananya kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang mendukung pendidikan karakter, perlu didukung dengan perangkat pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan revitalisasi kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah pengembangan karakter.

e). Kegiatan keseharian di rumah dan di masyarakat
Dalam kegiatan ini sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan antara karakter yang dikembangkan di sekolah dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat.

4. Penambahan Alokasi Waktu Pembelajaran

Apabila pendidikan karakter diintegrasikan dalam ko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan memerlukan waktu sesuai dengan kebutuhan dan karakteristiknya. Untuk itu, penambahan alokasi waktu pembelajaran dapat dilakukan, misalnya:
a.       Sebelum pembelajaran di mulai atau setiap hari seluruh siswa diminta membaca surat-surat pendek dari kitab suci, melakukan refleksi (masa hening) selama 15 s.d 20 menit.
b.      Di hari-hari tertentu sebelum pembelajaran dimulai dilakukan kegiatan muhadarah (berkumpul dihalaman sekolah) selama 35 menit. Kegiatan itu berupa baca Al-Quran dan terjemahan, maupun siswa berceramah dengan tema keagamaan sesuai dengan kepercayaan masing-masing dalam beberapa bahasa (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Daerah, serta bahasa asing lainnya), kegiatan ajang kreatifitas seperti: menari, bermain musik dan baca puisi. Selain itu juga dilakukan kegiatan bersih lingkungan dihari Jum’at atau Sabtu (Jum’at/Sabtu bersih).
c. Pelaksanaan ibadah bersama-sama di siang hari selama antara 30 s.d 60 menit.
d. Kegiatan-kegiatan lain di luar pengembangan diri, yang dilakukan setelah jam pelajaran   
      selesai.
e. Kegiatan untuk membersihkan lingkungan sekolah sesudah jam pelajaran berakhir
      berlangsung selama antara 10 s.d 15 menit.


5. Penilaian Keberhasilan
Untuk mengukur tingkat keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui berbagai program penilaian dengan membandingkan kondisi awal dengan pencapaian dalam waktu tertentu. Penilaian keberhasilan tersebut dilakukan melalui langkah-langkah berikut:
1. Menetapkan indikator dari nilai-nilai yang ditetapkan atau disepakati
2. Menyusun berbagai instrumen penilaian
3. Melakukan pencatatan terhadap pencapaian indikator
4. Melakukan analisis dan evaluasi
5. Melakukan tindak lanjut

























BAB III

PENGEMBANGAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN

A. Komponen KTSP
Pendidikan karakter merupakan satu kesatuan program kurikulum satuan pendidikan. Oleh karena itu program pendidikan karakter secara dokumen diintegrasikan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mulai dari visi, misi, tujuan, struktur dan muatan kurikulum, kalender pendidikan, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).

B. Tahapan Pengembangan
Pelaksanaan pendidikan karakter di satuan pendidikan perlu melibatkan seluruh warga sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat sekitar. Prosedur pengembangan kurikulum yang mengintegrasikan pendidikan karakter di satuan pendidikan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

1.      Melaksanakan sosialisasi pendidikan karakter dan melakukan komitmen bersama antara
seluruh komponen warga sekolah (tenaga pendidik dan kapendidikan serta komite sekolah).
2.      Membuat komitmen dengan semua stakeholder (seluruh warga sekolah, orang tua siswa,
komite, dan tokoh masyarakat setempat) untuk mendukung pelaksanaan pendidikan  karakter.
3.      Melakukan analisis konteks terhadap kondisi sekolah (internal dan eksternal) yang
dikaitkan dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan pada satuan pendidikan yang bersangkutan. Analisis ini dilakukan untuk menetapkan nilai-nilai dan indikator keberhasilan yang diprioritaskan, sumber daya, sarana yang diperlukan, serta prosedur penilaian keberhasilan.
4.      Menyusun rencana aksi sekolah berkaitan dengan penetapan nilai-nilai pendidikan
karakter.
5.      Membuat perencanaan dan program pelaksanaan pendidikan karakter, yang berisi:

·         Pengintegrasian melalui pembelajaran
·         Penyusunan mata pelajaran muatan lokal
·         Kegiatan lain
·         Penjadwalan dan penambahan jam belajar di sekolah

6.       Melakukan pengkondisian, seperti:
• Penyediaan sarana
• Keteladanan
• Penghargaan dan pemberdayaan
       7. Melakukan penilaian keberhasilan dan supervisi

Untuk keberlangsungan pelaksanaan pendidikan karakter perlu dilakukan penilaian keberhasilan dengan menggunakan indikator-indikator berupa perilaku semua warga dan kondisi sekolah/instansi yang teramati. Penilaian ini dilakukan secara terus menerus melalui berbagai strategi. Supervisi dilakukan mulai dari menelaah kembali perencanaan, kurikulum, dan pelaksanaan semua kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter, yaitu:
Implementasi program pengembangan diri berkaitan dengan pengembangan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa dalam budaya sekolah
• Kelengkapan sarana dan prasarana pendukung implementasi pengembangan nilai pendidikan  
   budaya dan karakter bangsa
• Implementasi nilai dalam pembelajaran
• Implementasi belajar aktif dalam pembelajaran
• Ketercapaian Rencana Aksi Sekolah berkaitan dengan penerapan nilai-nilai pendidikan karakter
• Penilaian penerapan nilai pendidikan karakter pada pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta  
   didik (sebagai kondisi akhir)
• Membandingkan kondisi awal dengan kondisi akhir dan merancang program lanjutan.

8.       Melakukan penyusunan KTSP yang memuat pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter.

• Mendata kondisi dokumen awal (mengidentifikasi nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter
    bangsa dalam dokumen I)
 Merumuskan nilai-nilai pendidikan karakter di dalam Dokumen I (latar belakang
    pengembangan KTSP, Visi, Misi, Tujuan Sekolah, Struktur dan Muatan Kurikulum, Kalender  
    Pendidikan, dan program Pengembangan Diri)
 Mengitengrasikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam dokumen II (silabus dan RPP)

C.    Penyiapan Perangkat dalam rangka Pelaksanaan Pendidikan Karakter di Satuan  
Pendidikan

Terkait dengan penyiapan perangkat itu telah dilakukan kegiatan-kegiatan berikut:
1.      Pembentukan Tim “Penggerak” Tingkat Nasional, Tingkat Propinsi, Tingkat Kabupaten/Kota,   dan Tingkat Satuan Pendidikan
2.      Pemetaan kesiapan pelaksanaan pendidikan karakter di PAUD, SD, SMP, SMA, SMK, SLB dan PKBM untuk setiap Kabupaten/Kota (Sumber: Bantuan Teknis Profesional Tim Pengembang Kurikulum di Tingkat Propinsi dan Kab/Kota, 2010; ToT Tingkat Utama dan Tingkat Nasional terhadap 1.200 orang peserta dari unsur-unsur unit Utama Kemendiknas, Dinas Pendidikan Provinsi & Kab/Kota, P4TK; LPMP; dan Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta)
3.      Menyiapkan bahan pelaksanaan pendidikan karakter pada setiap satuan pendidikan (Buku
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, 2011)
4.      Penyiapan bahan sosialisasi berupa bahan/materi pelatihan untuk pelaksanaan pendidikan
karakter dengan waktu/masa pelatihan yang bervariasi berupa booklet, leaflet diperuntukan bagi pemangku kepentingan dalam pelaksanaan pendidikan karakter di setiap satuan pendidikan
5.      Contoh-contoh Best practice dan pembiasaan pelaksanaan pendidikan karakter di setiap
 jenjang pendidikan[13] .


BAB  IV
PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER
Pada bagian ini disajikan pelaksanaan bestpractice dan pembiasaan pendidikan karakter di 7 (tujuh) satuan pendidikan yang menjadi program “sekolah rintisan”. Ketujuh satuan pendidikan, yaitu: PAUD/TK, SD, SMP, SMA, SMK, SLB, PKBM yang dipilih dari 125 satuan pendidikan dari 16 provinsi/kabupaten/kota.

A. Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini dipilih salah satu Taman Kanak-Kanak (TK), yaitu TK Negeri Pembina Kota Mataram yang terletak di Jl. Pemuda No. 61 Mataram. Keadaan pendidik dan tenaga kependidikan di TK Pembina adalah (1) Jumlah Guru Negeri : 7 Orang, (2) Jumlah Guru Honor : 5 Orang (3) Kualifikasi akademik : S1 4 orang Guru Negeri dan 2 orang Guru Honor, (4) Sertifikasi Guru : 2 Orang. Untuk keperluan pengetikan merekrut 1 orang tenaga administrasi.
Dokumen I yang disusun sudah mulai disempurnakan sesuai dengan hasil analisis konteks dan sudah menggunakan acuan Peraturan Menteri Pendidikan Nasioanal No. 58 tahun 2009 tentang Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) serta telah memasukkan nilai-nilai pembentuk karakter yang menjadi prioritas sekolah. Ini terlihat dalam rumusan visi dan misi. Setiap guru telah menyusun Rencana Kegiatan Mingguan (RKM) dan Rencana Kegiatan Harian (RKH) yang juga telah mengintegrasikan nilai-nilai pembentuk karakter yang menjadi prioritas, seperti kemandirian, kebersihan, religius, dan sopan-santun.

1. Prosedur dan langkah pengembangan pendidikan karakter.
Untuk merealisasikan pendidikan karakter dalam seluruh kegiatan di TKN Pembina Kota Mataram dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Memilih dan menentukan nilai-nilai yang diprioritaskan untuk dikembangkan berdasarkan hasil analisis konteks dengan mempertimbangkan ketersediaan sarana dan kondisi yang ada.
b. Kepala sekolah melakukan sosialisasi ke semua warga sekolah agar semua warga sekolah memiliki komitmen bersama untuk merealisasikan pembentukkan karakter melalui nilai-nilai yang diprioritaskan.
c. Melakukan sosialisasi kepada orang tua peserta didik dan komite sekolah untuk mendukung pelaksanaan pendidikan karakter dan mensinkronkan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah dan di rumah atau di lingkungan masyarakat setempat.

2. Perencanaan dan Pelaksanaan Program Pendidikan Karakter
Tahap Perencanaan
Pada awal kegiatan, di TKN Pembina menggunakan Kurikulum TK 2004 sebagai acuan kegiatan yang dilakukan. Kurikulum ini merupakan kurikulum yang disiapkan Pusat. Dalam Kurikulum ini sudah berisi berbagai nilai yang harus dikembangkan, yaitu pada bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan.  
Oleh karena itu, melalui kegiatan penguatan pelaksanaan kurikulum pada sekolah rintisan dan melalui pendampingan oleh Tim Pusat Kurikulum, TK ini mulai memasukkan nilai-nilai yang diprioritaskan dalam dokumen. Nilai yang diprioritaskan adalah kebersihan, religius, kemandirian, peduli lingkungan, toleransi.
Nilai yang dipilih dituangkan pada Visi, Misi, dan Tujuan sekolah. Gambaran pengintegrasian tersebut adalah:
a. Visi : ” Beriman, Bertaqwa , Berbudaya, Kreatif, Mandiri dan Berwawasan luas ”
b. Misi : :
• Meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT/Tuhan Yang Maha Esa
• Melaksanakan kegiatan yang bernuansa religius
• Menciptakan lingkungan sekolah yang aman, nyaman, rapi, bersih dan menyenangkan
• Menumbuhkan kedisiplinan peserta didik dan warga sekolah
• Mengembangkan kreativitas peserta didik agar menjadi terampil dan mandiri
• Mengembangkan kemampuan peserta didik melalui pengenalan ilmu pengetahuan, teknologi
  dan seni.

c.  Tujuan :
• Memiliki rasa keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT/Tuhan Yang Maha Esa
• Terbiasa hidup rukun, damai, harmonis dan toleransi
• Terciptanya lingkungan sekolah yang aman, nyaman, rapi dan bersih
• Memiliki sikap kedisiplinan yang tinggi
• Memiliki kreativitas yang tinggi melalui pengembangan bakat dan minat peserta didik
• Memiliki wawasan yang luas melalui pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni sehingga siap memasuki pendidikan lebih lanjut.

Tahap Pelaksanaan
Berdasarkan hasil sosialisasi, pelaksanaan pendidikan karakter di TKN ditetapkan melalui kesepakatan, yaitu (1) Orang tua/wali peserta didik yang mengantar dan menjemput putra-putrinya diperbolehkan hanya sampai pintu gerbang, (2) Orang tua/wali peserta didik diperkenankan memasuki halaman sekolah jika ada keperluan yang penting, (3) peserta didik bersalaman dengan guru dengan mengucapkan salam ketika sampai di pintu gerbang (guru-guru sudah menunggu), (4) setuju dengan program pembelajaran bagi peserta didik sebelum belajar dan setelah keluar main/istirahat, yaitu memungut sampah secara serentak dan membuangnya pada tempat yang telah disediakan (dipisahkan sampah organik dan non organik), (5) merencanakan pembuatan pupuk kompos (program jangka panjang).
Dalam rangka pengembangan peserta didik secara optimal, berbagai kegiatan diprogramkan dalam kalender akademik di TKN Pembina Kota Mataram. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup kegiatan untuk tahun ajaran baru, yaitu melakukan orientasi pengenalan sekolah. Terdapat pula kegiatan olahraga dan menanam tanaman hias yang dilakukan oleh peserta didik baru di TK. Pada setiap akhir tema diadakan acara puncak tema, misalnya kunjungan ke museum maupun rekreasi.
Untuk memperingati hari-hari khusus diadakan acara, misalnya: Festival Kartini pada bulan April, mengumpulkan zakat fitrah dan kunjungan ke panti pada bulan puasa, memotong dan membagikan hewan qurban pada saat memperingati Idul Adha. Acara family day yaitu memasak bersama ibu dilakukan bulan Desember untuk memperingati hari Ibu. Selain itu, diadakan pula berbagai acara lomba baik antarkelas, antarsekolah maupun sekota Mataram untuk memperingati ulang tahun TK maupun Hari Kartini dan saat pertengahan semester. Kegiatan pentas seni yang dilakukan di TVRI juga diprogramkan oleh TK Negeri Pembina Kota Mataram.

3. Pengkondisian Pendidikan Karakter
TKN Pembina Kota Mataram sudah menyediakan berbagai sarana untuk mendukung pengembangan nilai-nilai pendidikan karakter meskipun masih seadanya. Melalui kegiatan sekolah perintisan maka TKN Pembina Kota Mataram menambah sarana untuk mendukung pengembangan nilai-nilai pendidikan, yaitu tempat sampah organik dan nonorganik. Karena peserta didik belum bisa membaca, maka pada tempat sampah diberi gambar yang menunjukkan sampah organik dan non organik. Di sekolah juga memperbanyak alat-alat kebersihan. Dalam rangka penerapan nilai seluruh komponen di sekolah memberikan teladan dengan datang tidak terlambat dan membuang sampah pada tempatnya. Pengembangan nilai disiplin dilakukan juga dengan mencatat peserta didik yang jarang datang dan memanggil orang tuanya untuk mengetahui alasan ketidakhadiran peserta didik.

4. Penilaian keberhasilan dan tindak lanjut Keberhasilan:
• Untuk meningkatkan kemandirian, orang tua hanya mengantar peserta didik sampai di pintu  
   gerbang dan tidak ada lagi orang tua yang menunggui peserta didik di halaman sekolah
   maupun di depan kelas.
• Terjadi perubahan dalam jumlah peserta didik yang mengucapkan salam setiap pagi
• Peserta didik sudah terbiasa membuang sampah pada tempatnya sesuai dengan jenis
   sampahnya yaitu sampah organik dan non-organik
• Orang tua sangat mendukung dan ikut berperan dalam pemenuhan fasilitas sekolah
• Pencerminan nilai karakter bangsa pada peserta didik sudah dilakukan secara rutin, spontan dan
   terprogram dalam kegiatan sehari-hari.

Tindak lanjut
Berdasarkan kebutuhan, usulan dan saran dari orang tua, maka tindak lanjut yang merupakan pengembangan kegiatan pendidikan karakter di TK antara lain:
• Akan menambah nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan secara bertahap
• Dalam jangka panjang ada area khusus untuk orang tua/wali peserta didik yang menjemput  
  putra-putrinya
• Memperbanyak pengadaaan tempat sampah
• Memperindah taman sekolah
• Membentuk tim kecil pelaksanaan nilai-nilai pendidikan karakter
• Komite sekolah menyisihkan dana untuk kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter
• Membuat surat edaran untuk semua orang tua/wali tentang kesepakatan sosialisasi nilai-nilai
   pendidikan karakter.


B. SEKOLAH DASAR
1. Profil Sekolah
 






















C. Sekolah Menengah Pertama
1. Profil
SMPN 36 Bandung berdiri pada tahun 1984 dan diresmikan tahun 1986. Sekolah ini beralamat di jalan Caringin, Bandung Selatan, berdekatan dengan Pasar Induk Caringin dan berdampingan dengan Perumahan Dian Permai dan SMA Negeri 17 Bandung. Kondisi sosial-ekonomi orang tua siswa sangat heterogen dengan latar belakang sebagai pegawai negeri sipil, wirausaha, dan pedagang. Kebanyakan taraf ekonomi orang tua peserta didik termasuk golongan menengah ke bawah, di mana sekitar 50 persen tergolong kurang mampu. Sekolah ini merupakan sekolah sehat dan berbudaya Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Puskurbuk, Maret 2011 26
lingkungan, hal ini dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang diperoleh baik dari tingkat kota maupun provinsi.
Sekolah ini memiliki 40 orang tenaga pendidik dengan kualifikasi pendidikan S3/S2 sebanyak 12,5%; S1 80%; dan D3/Sarmud 7,5%; namun dari seluruh guru tersebut sebanyak 25% mengajar tidak pada bidangnya. Sekolah ini memiliki 803 siswa yang dikelompokan ke dalam 23 rombongan belajar. Ruang kelas yang dimiliki sekolah sebanyak 22 ruang ditambah dengan 1 ruang lain yang difungsikan sebagai ruang kelas. Selain itu sekolah juga memiliki 1 ruang perpustakaan, Laboratorium IPA, ruang kesenian, Laboratorium Bahasa, Laboratorium Komputer, dan ruang serba guna/aula. Sekolah juga memiliki ruang kepala sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang tata usaha, dan ruang tamu. Prasarana lain adalah 1 buah gudang, 1 buah dapur, 1 ruang reproduksi, 4 buah kamar mandi guru dan 39 toilet/kamar mandi siswa, 1 ruang BK, 1 ruang UKS, 1 ruang PMR/Pramuka, 1 ruang OSIS, 1 ruang ibadah, 1 ruang ganti, 1 ruang koperasi, 1 Hall/lobi, kantin, rumah pompa/menara air, bangsal kendaraan, rumah penjaga dan pos penjaga. Untuk menunjang kegiatan olahraga sekolah memiliki lapangan olahraga untuk futsal, basket, dan bola volley.

D. Sekolah Menengah Atas
SMA Negeri 4 Balikpapan berada di Jalan Sepinggan Baru III RT.48 No. 36 Kelurahan Sepinggan, Kecamatan Balikpapan Selatan, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, dekat dengan Bandar Udara Sepinggan. Terletak di daerah perbukitan dengan pepohonan yang menghijau, bebas polusi, kicauan burung yang tak pernah berhenti setiap hari dan dilengkapi dengan semilir hawa perbukitan yang semakin menambah pesona SMA Negeri 4 Balikpapan.
Pada tahun 2007 dan 2009, sekolah ini meraih gelar Sekolah Sehat Tingkat Kota dan Provinsi. Kondisi ini sejalan dengan keseriusan Kota Balikpapan dalam memasyarakatkan program CGH atau Clean, Green dan Healthy City.

E. Sekolah Menengah Kejuruan
SMK Negeri 1 Bantul terletak di Jalan Parangtritis km. 11, Sabdodadi, Bantul Telp. (0274) 367156 Fax. (0274) 367156. SMK ini membuka 5 kompetensi keahlian yaitu: Akutansi, Administrasi Perkantoran, Pemasaran, Multi Media, Teknik Komputer dan Jaringan. Sekolah sudah ditunjuk sebagai penyelenggara RSBI dan sudah menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001-2008.
Sekolah ini termasuk sekolah unggulan, oleh karena itu, input siswa yang masuk ke sekolah ini dipilih berdasarkan perolehan nilai Ujian Nasional SMP yang tinggi walaupun berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Penerapan disiplin di kalangan siswa cukup baik yang ditunjukkan dengan tingkat kehadiran yang tinggi. Pencapaian prestasi secara umum cukup baik, ini ditunjukan dengan hasil UN rata-rata selalu menduduki tingkat 5 besar di tingkat propinsi.
Jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan cukup memadai dengan jumlah guru: 92 orang, PNS = 70, Non PNS = 22 orang (GTT) dengan kualifikasi pendidikan sebagai berikut: Sarjana ( S1)= 84 orang, S2 = 5 orang, D3 = 3 orang. Tenaga Kependidikan = 31 orang, PNS = 10 orang , Non PNS = 21 orang, namun tenaga laboran belum ada. Dalam proses pembelajaran, sebagian guru masih mengajar dengan cara konvensional, kurang menggunakan metode yang bervariasi, terutama guru yang mengajarkan bidang studi yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya, namun demikian, secara umum motivasi belajar guru untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya cukup tinggi. Jumlah dan jenis peralatan praktik cukup memadai dan semua ruang kelas dilengkapi LCD.
Lokasi sekolah berada di lingkungan pemukiman penduduk, sehingga lebih aman dan Jauh dari kebisingan jalan raya dan sekolah sudah ditetapkan sebagai sekolah berwawasan lingkungan.
F. Sekolah Luar Biasa
Sekolah yang dipilih oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Singkawang untuk dijadikan sebagai sekolah rintisan program piloting dalam implementasi pendidikan karakter dan budaya bangsa adalah SLB Negeri Singkawang. Sekolah beralamat di jalan Semai, Bukit Batu, Kecamatan Singkawang Tengah, Kabupaten Singkawang. Sekolah ini berstatus negeri dan telah memiliki kualifikasi standar ISO.
Tanah dan bangunan adalah milik pemerintah dengan luas tanah sebesar 34.280 M² dan luas bangunan 1.693 M². Luas tanah dan bangunan sekolah cukup luas dan lokasi yang mudah untuk diakses, terletak dipinggir jalan yang mudah dilalui kendaraan serta dekat dengan sungai.
Namun kondisi bangunan dan sarana prasarana masih belum memadai dan belum sesuai dengan standar yang diharapkan, contoh : belum adanya ruang pertemuan (Aula), ruang rapat, ruang untuk mengembangkan bina komunikasi dan wicara, belum memiliki penampungan air bersih, penataan pembuangan limbah, dan area parkir kendaraan (garasi).
Jumlah peserta didik sebanyak 68 orang siswa dengan berbagai jenis ketunaan yaitu: 5 orang siswa tunanetra, 7 orang siswa tuna rungu, 53 orang siswa tunagrahita, dan 2 orang siswa tunadaksa. Kemudian jumlah tenaga pendidik sangat terbatas dan hanya 4 orang guru yang berstatus PNS. Kondisi serba keterbatasan ini tidak mengurangi komitmen warga sekolah dalam mengimplementasikan program pendidikan karakter agar menjadi budaya sekolah sebagai sekolah yang berkarakter.
Pada kondisi awal, KTSP yang dikembangkan belum mengintegrasikan nilai-nilai pendidikan karakter secara terstruktur, namun pada pelaksanaannya nilai-nilai pendidikan karakter sudah diterapkan secara rutin di sekolah. 

G. PKBM
1. Profil PKBM Sandyka
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sandyka terletak di Jl. Balla Lompo Nomor 25 Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa. Dikelola oleh Yayasan Pendidikan Sandyka dan merupakan salah satu PKBM yang menjadi rintisan pendidikan karakter bangsa. PKBM Sandyka berdiri pada tanggal 1 Juli 2003 dalam rangka melayani keluarga prasejahtera (sangat miskin) yang tidak dapat menyekolahkan anaknya. PKBM Sandyka bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga yang termaginalisasi melalui sentuhan “Pendidikan dan Keterampilan” agar dapat melahirkan SDM mandiri dan kompetitif.






BAB V
MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH

A. Keterlibatan Semua Warga Sekolah dalam Pembelajaran yang Berkarakter

Pengembangan nilai-nilai dalam pendidikan karakter melalui budaya sekolah mencakup semua kegiatan-kegiatan yang dilakukan kepala sekolah, guru, konselor, tenaga administrasi ketika berkomunikasi dengan peserta didik dan menggunakan fasilitas sekolah. Budaya sekolahadalah suasana kehidupan sekolah tempat antar anggota masyarakat sekolah saling berinteraksi. Interaksi yang terjadi meliputi antara peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, kepala sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan siswa, konselor dengan siswa dan sesamanya, pegawai administrasi dengan dengan siswa, guru dan sesamanya. Interaksi tersebut terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan, tanggung jawab dan rasa memiliki merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.
Proses pendidikan karakter melibatkan siswa secara aktif dalam semua kegiatan keseharian di sekolah. Dalam kaitan ini, kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan diharapkan mampu menerapkan prinsip ”tut wuri handayani” dalam setiap perilaku yang ditunjukkan peserta didik. Prinsip ini juga menyatakan bahwa proses pendidikan dilakukan dalam suasana belajar yang menimbulkan rasa senang dan tidak indoktrinatif.
Dalam pendidikan karakter, proses pembelajaran di kelas tidak terlepas dari berbagai kegiatan lain di luar kelas atau bahkan di luar sekolah. Di dalam kelas, guru dapat mengawali dengan perkenalan terhadap nilai-nilai yang akan dikembangkan selama pembelajaran berlangsung, lalu guru menuntun peserta didik agar terlibat secara aktif di sepanjang proses pembelajaran. Hal ini dilakukan tanpa guru harus mengatakan kepada peserta didik bahwa mereka harus aktif, tapi guru merencanakan kegiatan belajar yang menyebabkan peserta didik aktif, misalnya dengan mengkondisikan siswa merumuskan dan mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat menggunakan kata dan kalimat yang santun, mencari sumber informasi, dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber, mengolah informasi yang sudah dimiliki, merekonstruksi data, fakta, atau nilai, menyajikan hasil rekonstruksi atau proses pengembangan nilai, menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter pada diri mereka melalui berbagai kegiatan belajar yang terjadi di kelas, sekolah, dan tugas-tugas di luar sekolah.

                                                                   
BAB VI
PENUTUP

Fungsi Pendidikan karakter selain mengembangkan dan memperkuat potensi pribadi juga menyaring pengaruh dari luar yang akhirnya dapat membentuk karakter peserta didik yang dapat mencerminkan budaya bangsa Indonesia. Upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar baik melalui mata pelajaran maupun serangkaian kegiatan pengembangan diri yang dilakukan di kelas dan luar sekolah. Pembiasaan-pembiasan (habituasi) dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung-jawab dan sebagainya, perlu dimulai dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat. Nilai-nilai tersebut tentunya perlu ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya dapat membentuk pribadi karakter peserta didik yang selanjutnya merupakan pencerminan hidup suatu bangsa yang besar.
Panduan operasional yang disusun ini lebih diperuntukkan kepada kepala sekolah. Pembentukan budaya sekolah (school culture) dapat dilakukan oleh sekolah melalui serangkaian kegiatan perencanaan, pelaksanaan pembelajaran yang lebih berorientasi pada peserta didik, dan penilaian yang bersifat komprehensif. Perencanaan di tingkat sekolah pada intinya adalah melakukan penguatan dalam penyusunan kurikulum di tingkat sekolah (KTSP), seperti menetapkan visi, misi, tujuan, struktur kurikulum, kalender akademik, dan penyusunan silabus. Keseluruhan perencanaan sekolah yang bertitik tolak dari melakukan analisis kekuatan dan kebutuhan sekolah akan dapat dihasilkan program pendidikan yang lebih terarah yang tidak semata-mata berupa penguatan ranah pengetahuan dan keterampilan melainkan juga sikap prilaku yang akhirnya dapat membentuk ahklak budi luhur.
Pendidikan karakter bukan merupakan mata pelajaran yang berdiri sendiri atau merupakan nilai yang diajarkan, tetapi lebih kepada upaya penanaman nilai-nilai baik melalui mata pelajaran, program pengembangan diri maupun budaya sekolah. Peta nilai dan indikator yang disajikan dalam naskah ini merupakan contoh penyebaran nilai yang dapat diajarkan melalui berbagai mata pelajaran sesuai dengan standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) yang terdapat dalam standar isi (SI). Begitu pula melalui program pengembangan diri, seperti kegiatan rutin sekolah, kegiatan spontan, keteladanan, pengkondisian. Perencanaan pengembangan Pendidikan Karakter ini perlu dilakukan oleh semua pemangku kepentingan di sekolah yang secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum sekolah yang selanjutnya diharapkan menghasilkan budaya sekolah.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari semua pihak pemerhati, pelaksana pendidikan untuk kesempurnaan yang akhirnya dapat memberikan pencerahan pelaksanaan di tingkat sekolah. Selanjutnya diharapkan kualitas produk peserta didik yang memiliki ahklak budi mulia sebagai pencerminan bangsa yang besar.



















SUMBER BAHAN
1. Kemdiknas. (2010). Buku Induk Pembangunan Karakter. Jakarta.
2. Kemdiknas. (2010). Desain Induk Pendidikan Karakter (hal. 8-9). Jakarta.
3. Kemdiknas. (11 Mei 2010). Poin-poin Sambutan dan Pengarahan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono pada Puncak Peringatan Hardiknas di Istana Negara. Jakarta.
4. Kemdiknas. (2010). Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter. Jakarta.
5. Pusat Kurikulum. (2010). Bantuan Teknis Profesional Tim Pengembang Kurikulum di tingkat Propinsi dan Kab. / Kota. Jakarta.
6. Pusat Kurikulum. (2010). Laporan ToT Tingkat Utama dan Tingkat Nasional terhadap 1200 peserta dari unsur-unsur unit utama Kemdiknas, Dinas Pendidikan Propinsi dan Kab./Kota, P4TK, LPMP, Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Jakarta.
7. Pusat Kurikulum. (2010). Laporan hasil Piloting di 16 Propinsi 16 Kab./Kota di 125 Satuan Pendidikan. Jakarta.
8. Pusat Kurikulum. (2009). Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah (hal. 9-10). Jakarta


[1] Kemdiknas.. Buku Induk Pembangunan Karakter. (Jakarta, 2010), h.1
[2]Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa  2010-2025, (Jakarta: Kemdiknas, 2010), h. 5
[3]Sumber: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
   --UUSPN).

[4] Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Puskurbuk, (2011: 2)
[5] Muchlas Samani dan Hariyanto, Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h.43
[6] Sue Winston, Character Education: Implication for Critical Democracy, International Critical Childhood Policy Studies, vol. 1 (I), 2008. h.13
[7] Muchlas Samani dan Hariyanto, Loc.cit.
[8] Linda C Scerenco, Values and Character Education Implementation Guide, Georgia Department of Education, 1997,h. 45.
[9] Masnuru Muslich, Pendidikan Karakter  (Jakarta: Bumi Aksara,2011) , h. 133-134.
[10] Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Puskurbuk, Maret 2011

[11]Desain Induk Pendidikan Karakter, (2010: 8-9)

[12] Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Puskurbuk, Maret 2011: 9
[13] Sumber: Laporan Pelaksanaan Hasil Piloting dari 16 propinsi/kabupaten/kota di 125 satuan pendidikan yang  
   dilaksanakan oleh Pusat Kurikulum pada Tahun Anggaran 2010